Jogja? Hmm,...rupanya bubur ini memang tak hanya ada di Solo, tempat Gibran lahir. Di kampung-kampung, di Jawa Tengah, bubur ini nampaknya masih ada hingga kini. Hanya saja, bubur lemu kerap disajikan secara berbeda.
Misalnya saja di Semarang, bubur lemu disajikan dalam bentuk bubur bersama sambal goreng krecek, dengan terik ayam atau tahu. Mungkin sedikit persamaan, bubur lemu di Solo maupun Jogja, bubur disajikan bersama gudeg lengkap.
[caption id="attachment_1807" align="aligncenter" width="700"]
Seperti yang dilansir Kompas.com, terselip makna dalam sepiring masakan bubur lemu. Dosen Prodi Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Heri Priyatmoko mengungkapkan bahwa dari kacamata sosiologi, bubur adalah makanan tradisional yang tak terperangkap dalam kasta sosial. Dari keluarga raja, priyayi hingga wong cilik sama-sama memakai jenang untuk dikonsumsi dan sebagai sesaji.
"Jenang atau bubur sukses melebur di kehidupan masyarakat. Bubur bukan milik satu golongan saja. Bubur makanan asli Nusantara adalah simbol kesederhanaan. Bahan untuk membuatnya berasal dari lingkungan sekitar, tanpa harus impor, dan diolah dengan cara sederhana. Bubur biasa disajikan di atas takir atau daun pisang yang dipetik di pekarangan rumah".
Heri Priyatmoko juga mengungkapkan, bahwa menghadirkan dan membincangkan jenang berarti kita melihat bentuk Nusantara (Jawa) yang asli, tanpa kepalsuan. Pelajaran hidup sederhana, dan tiada kesenjangan sosial.
Namun sebetulnya, mengapa dinamakan bubur lemu? Apakah karena bubur masakan ndesa ini bila disajikan lengkap dapat membuat tubuh kita jadi gemuk, atau bagaimana? Entahlah. Sepertinya turun temurun nama itu begitu saja ada.
[caption id="attachment_1808" align="aligncenter" width="700"]
Akan tetapi, di Jogja ternyata ada warung makan bernama Bubur Lemu. Dijelaskan Nanang Kuswanto dalam Tribun Jogja, selaku pengelola Bubur Lemu, penamaan ini dipilih karena penjualnya bertubuh tambun atau gemuk, yang dalam bahasa Jawa berarti lemu.
Warung Bubur Lemu berada di Jalan Gajah Mada, Kelurahan Pakualaman, Yogyakarta. Nanang memilih berjualan khas Yogyakarta ini karena ingin mempertahankan jenis bubur lemu di tengah semakin banyaknya bubur Jakarta di Yogyakarta. Kini makin sedikit orang berjualan bubur lemu.
Penyajiannya tak beda lho dengan bubur lemu yang teramu dalam jamuan putra Presiden dan mantan Presiden itu. Anda perlu mencoba masakan ndesa ini, terbukti kenikmatannya mampu menghangatkan suasana perpolitikan di Indonesia.
0 comments