Tak banyak cincong, kami peserta tur Let ;s Go to Raja Ampat yang diselenggarakan Pelni berenang ke perahu motor tempel yang menunggu tak jauh. Meninggalkan karang-karang cantik dan gerombolan ikan yang sedari tadi menyihir mata, yang membuat kami betah berlama-lama memandangi mereka.
Setelah melepaskan alat snorkeling dan semuanya duduk anteng di atas perahu, dua perahu motor berkekuatan 400 PK membawa kami. Bruuumm …. Mesin perahu itu memecah laut yang biru gelap.
Dari Piaynemo, pengemudi mengarahkan perahu menuju timur, membelah lautan yang hari itu lumayan tenang. Tak jauh dari tempat tadi bertolak, sebuah pulau kecil terlihat di depan mata. Inilah tujuan kami, Pulau Rufas. Ketika sudah dekat, kecepatan mesin dipelankan.
Juru mudi lalu mengarahkan perahu menyusuri dinding kapur putih yang menjulang tinggi di tepi pulau tersebut. Di antara dinding karst itu, sebuah celah berjarak sekitar 4 meter membentang. Bagai pintu masuk, celah karst ini menjadi satu-satunya lubang dinding karst yang mengitari Pulau Rufas. Perahu yang saya tumpangi berbelok masuk.
Begitu ke dalam, arus mendadak tenang. Warna airnya juga lebih muda, menjadi biru toska dengan gradasi putih. Ternyata, di Pulau Rufas ada laguna seukuran lapangan sepak bola yang dikelilingi oleh dinding karang yang sebelumnya kami lewati. Pohon-pohon bakau yang tumbuh di bukit karst tersebut menaungi sisi pinggir, menambah cantik suasana.
Di seberang pintu masuk tadi, sebuah pondok kayu beratap daun sagu berdiri di bibir laguna. Di depannya, terparkir dua kapal kayu. Di salah satu sudut, tiga bocah yang sedang mengapung dengan ban besar memandangi kami yang baru masuk.
Ketenangan dan jernihnya air membuat beberapa orang yang ikut tak sabar untuk nyemplung . Setelah perahu merapat ke dermaga kecil, buru-buru mereka bergabung dengan tiga bocah tadi turun ke air. Yang lain, memilih tiduran di atas floaties , pelampung yang berbentuk matras. Bersantai sambil menikmati keindahan Rufas dan tenangnya air.
Surga Tersembunyi Di Pulau Rufas
Sementara itu, saya dan beberapa teman memilih untuk menanjak ke gardu pandang. Kami penasaran, apakah keindahan Rufas masih sama di atas ketinggian. Rio yang melihat kami bersiap menawari jadi pemandu. Agak licin jalannya, pelan-pelan saja ya, kata dia.
Dari dermaga kecil itu, kami melewati undak-undakan tebing karst curam yang sudah ditambahi semen agar mudah dilewati. Lumut yang menutupi sebagian bebatuan itu membuat permukaannya menjadi licin. Adapun di beberapa bagian permukaan lainnya tak rata dan cenderung lancip. Beruntung di kiri-kanan banyak pohon-pohon kecil yang bisa menjadi pegangan.
Setelah mendaki tiga menit, kami sampai di atas. Sebuah pondok setengah jadi bertingkat dua tegak di puncak. Dari atas pondok itu, laguna di Pulau Rufas ini terlihat makin cantik. Gradasi warna airnya makin terlihat antara biru, biru toska, hijau, dan putih. Ini seperti surga bocor ke bumi, Sukma, salah satu kawan rombongan, berceletuk.
Saya sepakat. Pemandangan ini sungguh di luar bayangan saya. Semalam sebelumnya saat masih mendapatkan sinyal seluler, saya sempat menjelajah dunia maya untuk mencari tahu tentang pulau tersebut. Beberapa kali menjejalah Internet, tak satu pun informasi yang saya dapat tentang pulau ini. Rufas belum jadi spot tujuan agensi perjalanan, jadi jarang dikunjungi, kata Ranny, salah satu pemandu wisata kami, kemudian.
Pulau Rufas terletak di Desa Pam, Distrik Waigeo Barat Kepulauan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Turun-temurun, pulau ini dimiliki oleh keluarga Kapisa yang berasal dari Desa Pam. Ini dari leluhur kami, kata Soleman Kapisa, yang saya temui di salah satu pondok kayu itu.
Sejak 2014, Soleman yang menyadari makin banyak wisatawan berdatangan ke Raja Ampat membangun penginapan di sana. Rumahnya dibangun dari batang pohon dan daun sagu. Adapun listrik dialirkan dari generator dan sel surya. Untuk air bersih, Soleman mengangkutnya dari Desa Pam karena sumber air di pulau kecil itu hanya berasal dari lautan. Kalau ada tamu, kami angkut ke sini, ujar dia.
Ada dua pintu masuk menuju Pulau Rufas. Lewat celah karst seperti yang kami lakukan atau lewat bagian belakang. Di daratan pulau yang sedikit lebar dan langsung berhadapan dengan laut, Soleman juga membuatkan dermaga untuk perahu bersandar.
Sayang, Soleman tak bisa banyak bercerita tentang pulau yang dimilikinya itu. Ia tak paham tentang seluk-beluk pulau tersebut. Menurut Ranny, hal semacam itu memang umum di Raja Ampat. Para pemuda tak banyak tahu tentang cerita leluhur. Maklum, ikut berkumpul bersama orang-orang tua dianggap tabu. Makanya cerita sejarah banyak yang terputus, kata dia.
Ikan-Ikan Bersekeolah Di Piaynemo
Perjalanan kami ke Pulau Rufas pagi itu diawali dengan pengumuman tentang arah kiblat salat subuh lewat pengeras suara di kapal motor Tatamailau. Sebagian penumpang di kelas ekonomi terbangun. Di acara tur Raja Ampat ini, kami menginap di kapal tersebut. Setelah salat subuh, saya dan beberapa teman memutuskan untuk melihat matahari terbit di buritan kapal. Mumpung kegiatan hari ini dimulai agak siang, pukul 8 dengan agenda ke Pulau Rufas.
Irfan Pribady, salah satu pemandu wisata, bergabung bersama kami. Pemuda asli Makassar ini banyak bercerita tentang spot-spot menarik di Raja Ampat. Dengan wilayah yang sangat luas, lebih dari 40 ribu kilometer persegi, Raja Ampat memiliki sumber daya alam yang sangat potensial, terutama di bawah air.
Menurut laporan The Nature Conservancy dan Conservation International, 75 persen spesies laut dunia tinggal di Raja Ampat. Paling tidak, ada 540 jenis karang, 1.511 spesies ikan, 700 jenis moluska, dan masih banyak spesies-spesies lainnya yang belum ditemukan. Tak mengherankan, banyak orang mengatakan Raja Ampat merupakan salah satu tempat menyelam terbaik di dunia.
Menurut Irfan, salah satu primadonanya adalah Melissa ;s Garden, tempat menyelam dan snorkeling yang berada di Pulau Fam. Di sini, orang bisa melihat school fish , kata dia.
School fish adalah istilah untuk sekelompok ikan sejenis yang berbaris beriringan. Mirip seperti segerombolan anak yang akan berangkat sekolah. Tapi, kata Irfan, para ikan ini lebih teratur. Mereka berbaris dengan urutan, dari yang kecil sampai yang paling besar. Seperti yang tergambar di film Finding Dory ataupun Finding Nemo . Karena ada mereka dan juga karang-karang yang cantik, banyak pengunjung yang tertarik ke sana.
Kalau lihat mereka itu, orang stres saja pasti ketawa karena lucu, kata dia. Sayang, perjalanan kami tak mengagendakan snorkeling di tempat itu.
Tak terasa, matahari mulai meninggi. Kami pun bubar untuk bersiap-siap mengunjungi tempat-tempat wisata lagi. Matahari mulai menghangat ketika kami turun dari Tamaliau. Kapal tempel motor sudah bersiap menunggu untuk membawa kami ke destinasi wisata yang sudah dijadwalkan. Pagi ini, seperti yang dijadwalkan, kami akan ber- snorkeling di Pulau Rufas. Cuacanya bagus untuk snorkeling , kata Wimbo Hardjito, mantan bos Pelni yang ikut dalam perjalanan tur ini.
Saya melihat ke atas, langit masih berawan. Mendung yang dari semalam menaungi langit Raja Ampat mulai hilang. Angin juga sedang tenang, begitu juga dengan ombak. Dari semalam, sejak kapal besar ini meninggalkan perairan dekat Pulau Mansuar, angin memang sangat tenang.
Perahu motor tempel itu lalu membawa kami ke arah barat daya, menuju gundukan pulau yang tak jauh dari tempat kapal besar bersandar. Tak sampai lima menit, kami sudah mendekati pulau-pulau karst ini. Tulisan Welcome to Piaynemo di sebuah papan kecil yang ditaruh salah satu pulau kecil menyambut kami. Perahu kemudian berbelok, menjauhi pulau-pulau besar. Di perairan yang sedikit dangkal, mesin dimatikan. Karena di Pulau Rufas tak boleh banyak-banyak, kita snorkeling di sini dulu ya, kata Rio.
Rupanya, kami belum sampai di Pulau Rufas. Rio membawa kami ke Piaynemo, melenceng dari tujuan. Piaynemo adalah destinasi wisata baru di Raja Ampat. Banyak orang yang menyamakannya dengan Wayag, ikon Raja Ampat yang sudah terkenal di penjuru dunia itu. Wilayah Piaynemo ini dipenuhi dengan gugusan karst, mirip Wayag. Namun, karena ukurannya yang lebih mini, orang menyebutnya Wayag Kecil.
Sama seperti Pulau Rufas, Piaynemo juga dimiliki secara turun-temurun oleh sebuah keluarga, keluarga Elly Dimara. Menurut Elly, nama Piaynemo berasal dari bahasa Biak. Piay berarti bagian tombak yang dipasang ke gagang. Jika dilihat dari jauh, pulau ini terlihat terputus, dengan ujung seperti mata tombak. Dilihat semakin dekat, mereka menyatu, tutur dia.
Wisatawan biasanya mendatangi tempat ini untuk melihat tebing-tebing karst dari atas ketinggian. Untuk melihatnya, pengunjung tak perlu bersusah-payah mendaki tebing karst seperti di Wayag. Di Piaynemo sudah dipasangi anak-anak tangga dari kayu, juga gardu pandang yang nyaman.
Tapi pagi ini, kami datang bukan untuk melihat Piaynemo dari ketinggian. Rio mengajak kami untuk menyelami air laut yang jarang dilakukan wisatawan lainnya. Kami ber- snorkeling di dekat bukit karst yang menjulang tinggi.
Tak lama setelah menyebur, segerombolan ikan lewat di bawah saya. Semua warnanya abu-abu, ukurannya tak lebih besar dari telapak tangan. Mereka berbaris. Ke mana pun ikan paling depan bergerak, yang lain mengikuti. Sesaat saya melongo melihat mereka. Ini school fish !
Rupanya gerombolan ikan yang diceritakan Irfan tadi pagi juga ada di Piaynemo. Saya makin bersemangat menggerakkan kaki. Makin dalam, air makin biru dan karang-karang cantik makin bertambah banyak. Ada yang bentuknya seperti batu besar berwarna cokelat, tulang daun raksasa, atau mangkuk besar yang semuanya menyihir mata.
Di atas mereka, gerombolan school fish dari berbagai jenis hilir-mudik, tak terganggu oleh kehadiran saya yang terpesona memandangi mereka. Sungguh pemandangan yang sangat istimewa. Memang benar guyonan Gubernur Papua Barat Abraham Octavianus Aturury: jangan mati dulu sebelum melihat Raja Ampat .
sumber: msn.com
0 comments